Agar tidak membingungkan, sebutan arsitektur
Nusantara disejajarkan tidak hanya dengan arsitektur tradisional saja, juga
dengan sebutan arsitektur lokal, regional, dan vernacular. Arsitektur
Nusantara adalah arsitektur tradisional yang merupakan warisan para leluhur dan
tersebar dari Sabang hingga Meraoke.
Eksistensinya di beberapa wilayah telah
menghilang dimakan waktu, mahal, rumit, dan juga akibat perubahan sikap
manusia.
Karya-karya yang masih dapat disaksikan
adalah bangunan yang menggunakan bahan batu atau bata yang umumnya dipersembahkan
bagi bangunan ibadah (suci) seperti candi, pura, dan masjid. Bangunan
lainnya yang masih dapat ditelusuri adalah yang diwujudkan melalui campuran
bahan bangunan batu atau bata dan kayu, yang dapat dilihat pada bangunan
raja-raja masa lalu seperti keraton Solo, Yogya, Medan, Sumbawa, dan Bali.
Sedangkan bangunan yang paling sedikit
dapat dijumpai kembali adalah bangunan yang dibangun dari bahan kayu yang
umumnya dipergunakan untuk rumah. Sedikitnya arsitektur
rumah kayu bukan karena bencana alam, namun lebih disebabkan oleh ketahanan
dari bahan kayu tersebut terhadap alam seperti iklim, rayap, dll. Bahkan di Bali,
sengaja atau tidak, secara sistematis dan terstruktur akibat pergantian
varietas padi berakibat pada hilangnya bangunan lumbung yang sangat unik dan
indah.
Mencermati
arsitektur Nusantara yang kaya akan ragam hias, bentuk, bahan, struktur
dan konstruksi, ada satu sikap pandang bahwa spiritnya sama yaitu keselamatan
bagi penghuninya. Keselamatan dimaksud jelas adalah rohani dan jasmani
penghuninya yang ditampilkan sebagai ciri arsitektur Nusantara yaitu
(1) memiliki tritisan yang lebar,
(2) terbangun sebagian besar dari kayu,
(3) memiliki kolong atau panggung,
(4) hubungan atau sambungan dengan ikatan tali, pasak, dan paku kayu/bambu,
(5) menggunakan sendi atau umpak, dan
(6) mudah dibongkar dan dipasang kembali.
(1) memiliki tritisan yang lebar,
(2) terbangun sebagian besar dari kayu,
(3) memiliki kolong atau panggung,
(4) hubungan atau sambungan dengan ikatan tali, pasak, dan paku kayu/bambu,
(5) menggunakan sendi atau umpak, dan
(6) mudah dibongkar dan dipasang kembali.
Dengan enam ciri tersebut, dari waktu
ke waktu dengan segala tantangannya, arsitektur Nusantara tidak goyah terhadap
bencana maupun gangguan alam lainnya -- kelembaban, binatang buas, dll. Karena dibangun dari
bahan kayu dan struktur konstruksinya tidak kaku, maka bila terjadi gempa,
struktur bangunan akan bergoyang mengikuti arah gempa. Jika
gempa bergerak ke arah vertikal pun, bangunan tidak akan roboh karena dudukan
tiang dengan sendi (umpak) tidak mati. Dari struktur, ini
dapat diistilahkan struktur dinamik.
Keunggulan
lainnya jika diterjang banjir oleh hujan ataupun tsunami, ketinggian kolong akan menyelamatkan
penghuninya. Bahkan jika air melewati tinggi panggung, sepertinya bangunan akan hanyut bagaikan
perahu atau rakit. Artinya, arsitektur Nusantara adalah
juga arsitektur perahu.
Ketika banjir menerjang, setidaknya
penghuni sempat berpikir dan menggapai kayu atau bambu untuk menyelamatkan
dirinya.
Seandainya bangunan roboh pun si penghuni tampaknya tidak akan cidera parah, karena
berat badan bangunannya (kayu, bambu, rotan, daun nipah, dan lainnya) relatif
lebih ringan dari tembok bata/batu/beton.
Sayang, tradisi turun temurun untuk arsitektur
Nusantara hampir di sebagian besar wilayah Indonesia tidak lagi
ditumbuhkembangkan. Jika
toh dikembangkan, itu hanyalah sosok, citra, penandanya, bukan pada bahan dan
struktur-konstruksi, ataupun fungsinya.
0 komentar:
Posting Komentar